Sabtu, 21 Maret 2009

DARI PENELITIAN ARKEOLOGI MAHASISWA SKI

A. Latar Belakang

Fatahillah, atau Syarif Hidayatullah, atau Sunan Gunung Jati, seorang kelahiran Pasai, merebut Sunda Kelapa dari kerajaan Padjajaran-Sunda. Ia memotong pergerakan armada laut Portugis yang bermarkas di Malaka yang telah bersepakat melalui sebuah perjanjian dengan raja Sunda untuk mendirikan lodje[1] di desa pelabuhan Sunda Kelapa. Setelah Sunda Kepala dikuasai di pertengah tahun 1527, Fatahillah memberinya nama Jayakarta. Jayakarta sendiri disebut berasal dari nama pangeran Padjajaran, Wijayakarta, yang menguasai Sunda Kepala sebelum direbut Fatahillah.[2]

Ketika Sunda Kelapa ditaklukkan Fatahillah, negara-negara Hindu masih hidup di pulau Jawa, meskipun dengan napas yang tersengal-sengal. Kerajaan Sunda Padjajaran di barat dan sisa-sisa kejayaan Majapahit di bagian timur, di Blambangan. Sementara di pesisir utara Jawa bagian tengah, kerajaan Demak telah memperlihatkan coraknya sebagai kerajaan Islam yang akan besar dan kuat.[3] Setelah itu, Fatahillah mendirikan kekuasaan di Cirebon dan Banten yang mulanya tunduk kepada kekuasaan Demak. Untuk memperkuat perdagangan dan memperkuat kedudukan Banten sebagai kota pelabuhan di bawah kekuasaan Demak, Fatahillah merebut Sunda Kelapa yang menjadi saingan bagi Banten ketika itu.[4] Sunda Kelapa sendiri merupakan pelabuhan dagang bagi kekuasaan Padjajaran yang belum Islam. Setelah ditaklukkan Fatahillah, tak ditemukan sumber yang menjelaskan secara lebih terperinci bagaimana nasib desa pelabuhan Sunda Kelapa yang telah berganti nama menjadi Jayakarta itu.

Hanya dikatakan, kalau pangeran terakhir yang berkuasa di desa pelabuhan itu, sebelum VOC mendirikan benteng Batavia di sana adalah Wijaya Krama. Wijaya merupakan penguasa yang tunduk pada kekuasaan Banten, ketika itu Banten telah melepaskan diri dari Demak. Jika mengacu pada pendapat R. Soekmono yang mengatakan bahwa menjelang akhir abad ke-15, hampir seluruh daerah Majapahit di pesisir utara Jawa telah memeluk Islam dengan pusatnya di Jepara, Tuban dan Gresik di bawah pemerintahan para adipati yang masih tunduk kepada pemerintahan pusat (Majapahit).[5] Maka dapat dikatakan seluruh Jayakarta dan daerah-daerah sekitarnya telah memeluk Islam.

Sebelum VOC mendirikan benteng Batavia (1619) desa pelabuhan Jayakarta masih kalah ramai jika dibandingkan dengan kota pelabuhan Banten. Armada Portugis-Spanyol dan Belanda telah lebih dulu mendirikan lodje mereka di Banten. Meskipun, perlu dicatat, ketika Jayakarta masih bernama Sunda Kelapa, desa pelabuhan itu telah menjadi pelabuhan utama kerajaan Padjajaran, bahkan sebuah lodje Inggris telah berdiri di tepi Ciliwung. Jayakarta baru dilirik kembali oleh pedagang asing secara lebih luas, termasuk oleh Belanda, ketika pertikaian antar pedagang memuncak di pelabuhan Banten. Jayakarta menjadi alternatif untuk pangkalan armada laut Belanda jika posisi mereka di perairan Banten sudah tidak aman.[6] Sejarah yang ditulis kebanyakan sejarah politik, sehingga kondisi sosial dan kultural menjadi terabaikan. Tak banyak catatan yang ditemukan yang berusaha mencatat kondisi di luar politik pada masa itu. Thomas Raffles mungkin saja mencatat lebih terperinci sejarah non-politik Jawa dalam bukunya yang terkenal History of Java, namun akses kita terhadap buku itu belum ada. Namun, tentu saja, ini tidak cukup dijadikan alasan untuk menutupi laporan sederhana ini.

Jayakarta menjadi semakin penting ketika pejabat teras Belanda, Matelieff di tahun 1609, ingin menjadikan kota itu sebagai rendez-vous, pangkalan tetap bagi armada kapal dagang mereka di Hindia.[7] Karena mereka merasa dan menyadari lodje mereka di pelabuhan Banten tidak aman. Banten, dan juga Mataram, terus mengancam kedudukan kapal-kapal dagang Belanda itu.[8] Di tahun-tahun berikutnya, 1618-1619, Jayakarta kemudian diperebutkan oleh empat kekuatan sekaligus, Belanda, Inggris, Mataram, dan Banten yang sama-sama memiliki kepentingan atas desa pelabuhan itu. Belanda keluar sebagai pemenang.

Belanda sebenarnya telah beberapa kali berusaha mencengkramkan kuku kekuasaanya di Jayakarta. Berbagai tipu muslihat dicobakan, mulai dari menyamar menjadi pedagang Arab, berpura-pura terdampar di pantai Jayakarta karena kerusakan kapal, dan menyerang secara terang-terangan.[9] Namun, setelah di bawah kepemimpinan Pieterszoon Coen, pada tahun 1619, VOC baru berhasil menguasai Jayakarta.

Pieterszoon Coen, gubernur jenderal VOC yang keempat, dengan gagasan ingin menjadikan kawasan pesisir Asia Tenggara hingga Selatan sebagai coloni-dagang yang berpusat di Batavia, mendirikan sebuah pemukiman di sana.[10] Coen menyetujui memberi nama Batavia untuk pemukiman orang-orang Belanda itu. Bermula dari sebuah lodje kecil yang dilindungi benteng, Batavia kemudian berkembang menjadi pusat kekuasaan koloni Belanda di seluruh Hindia, bahkan menjadi ibukota Negara Nusantara merdeka.

Lalu bagaimana perkembangan Islam di Jayakarta sebelum menjadi pusat kekuasaan VOC dan menjadi kota pelabuhan yang berkembang? Seperti telah disinggung sebelumnya, tak ada catatan yang memuaskan, tentang masyarakat Jakarta, kuhusunya komunitas-komunitas Islam awal pada abad ke-17 itu. Namun, dapat dikatakan, Fatahillah (atau Falatehan dalam sumber Portugis) tentu telah menyebarkan Islam di tengah-tengah masyarakat Jayakarta sebelum dia mendirikan Banten dan berkuasa di Cirebon. Begitupun setelah kerajaan Banten berdiri dan memiliki kota pelabuhan besar dan Jayakrata menjadi daerah yang tunduk pada kekuasaan raja Banten itu, Jayakarta tentu telah mendapat pengaruh Islam yang kuat. Namun, dapat dipastikan, Jayakarta adalah pelabuhan yang pamornya telah dikalahkan oleh kemegahan kota pelabuhan Banten yang mendominasi perdagangan laut pesisir utara Jawa. Meskipun, sebelum itu, karena terletak di pesisir utara Jawa[11], pedagang-pedagang asing dari India, China, dan Arab, yang telah banyak singgah dan melakukan perdagangan dengan orang-orang pribumi di daerah itu. Tidak dapat dikesampingkan, peranan komunitas-komunitas pedagang muslim itulah yang dominan membantu penyebaran dan perkembangan Islam.

Jayakarta kembali ramai dikunjungi para pedagang dan menjadi penting setelah Belanda merubah daerah itu menjadi kota pelabuhan dengan nama Batavia. Belanda memaksa para pedagang China meninggalkan pelabuhan Banten untuk berdagang di Batavia. Seiring dengan itu, pedagang-pedagang dari bangsa lain, meskipun sebelumnya telah pula berdagang di desa pelabuhan Jayakarta, juga akan semakin ramai berdatangan untuk berdagang di Jayakarta yang baru, Batavia. Karena galibnya sebuah kota dagang, tentu akan dikunjungi oleh pedagang dari berbagai etnik. Sampai sekarang masih kita temukan penamaan-penamaan kawasan seperti Kampung China, kampung Kling (India), Kampung Arab, dan lain sebagainya. Sehingga, dapat dikatakan, komunitas-komunitas Islam yang paling dominan di Batavia awal adalah kelompok-kelompok pendatang yang kebanyakan terdiri dari para pedagang.

Pedagang-pedagang muslim dari China, India, Arab, Persi, bermukim dan membentuk komunitas tersendiri di kota itu, baik setelah Belanda menduduki Jakarta dan mungkin jauh sebelum Jakarta menjadi kota pelabuhan yang ramai. Itulah kenapa Jakarta dibangun dari beragam etnik. Islam disebarkan oleh komunitas-komunitas muslim awal tersebut terhadap penduduk asli. Baik oleh komunitas Koja, Mooren, maupun China muslim. Bahkan dikatakan, Wali Songo yang menyebarkan Islam di pulau Jawa, tidak berdarah Arab, tetapi diasumsikan berdarah China.[12] Sementara itu, komunitas Islam Jawa baru terbentuk di waktu-waktu lebih belakangan, ketika Islam telah menyebar jauh ke penduduk pribumi Jawa.[13] Tidak mengherankan jika peninggalan-peninggalan Islam pada masa itu didominasi oleh corak etnik-etnik pendatang seperti China, India, Arab, dan Parsi itu. Namun, perlu dicatat rupanya, setelah Belanda mendirikan kota Batavia, kota itu menjadi kota yang tidak bebas dikunjungi pedagang dari etnik manapun. Kota itu dikelilingi tembok tinggi. Batavia seakan menjadi sebuah benteng besar. Dalam benteng besar itulah monopoli perniagaan VOC berlangsung. Daerah dalam benteng itulah yang kemudian bernama kota Batavia.

VOC juga memberlakukan ordonansi bagi seluruh penduduk kota.[14] Tidak sembarang etnik boleh berdagang di dalam kota. Pedagang-pedagang asing malah dibatasi dan dilarang, kecuali pedagang China yang sering diperlakukan istimewa. Pemukiman dalam kota dikotak-kotakkan menurut etnis, bahkan juga berdasarkan pada agama yang dianut. Sehingga kemudian, pedagang-pedagang India, Arab, maupun pedagang Jawa sendiri, justru secara diam-diam mengembangkan perdagangan di luar benteng, daerah-daerah pinggiran Batavia. Sehingganya, seiring dengan itu, perkembangan Islam menampakkan kemajuan yang signifikan di daerah-daerah pinggiran Batavia itu pula. Untuk memperoleh sedikit gambangan mengenai perkembangan Islam dan pengaruh-pengaruh etnik lain terhadap kebangunan Islam di Jakarta Raya, akan dicoba dilihat dengan menggunakan peinggalan-peninggalan arkeologi, berupa beberapa peninggalan material Islam yaitu masjid yang terdapat di kawasan ini, akan diuraikan dalam laporan sederhana ini.

B.
Riwayat Penelitian

Studi-studi arkeologi terhadap peninggalan purbakala di pulau Jawa tentu tidak lagi sedikit. Mulai dari penggalian yang dilakukan Augono Dobuis sehingga menghasilkan penemuan rangka-rangka Megantrophus, sampai pada penggalian yang dilakukan arkeolog-arkeolog Belanda sehingga menemukan candi-candi Hindu maupun Budha di pusat Jawa. Oleh ilmuwan-ilmuwan Indonesia sendiri yang tergabung dalam Pusat Penelitian Arkeologi nasional juga telah banyak menelurkan laporan-laporan penelitan arkeologi mereka di pulau ini. Termasuk di dalamnya penelitian terhadap situs-situs Islam. [15]. Seluruh masjid yang diteliti pada penelitan ini telah selesai diiventarisasi oleh lembaga-lembaga yang berwenang di daerah situs-situs ini berada. Masjid Jami’ Annawier di Pakojan (Jakarta Barat) dan masjid Wali A’alam di Marunda (Jakarta Utara) sudah dimasukkan ke dalam benda-benda cagar budaya museum Fatahillah Jakarta, di bawah Dinas Kebudayan dan Pariwisata pemerintah daerah DKI Jakarta. Begitu juga dengan masjid Agung Banten dan Masjid Gede Kauman masing-masing telah selesai diiventarisasi lembaga-lembaga yang berkepentingan di daerahnya masing-masing. Tentu saja, keterangan-keterangan arkeologis tentang situs-situs tersebut telah pula banyak dicatat dan ditelaah banyak kalangan.

Dari kenyataan di atas, apakah penelitian ini kemudian menjadi sia-sia? Tentu tidak sepenuhnya begitu. Ada bagian-bagian yang bisa saja belum tersentuh. Pengaruh-pengaruh etnik lain dalam kebangunan Islam, termasuk dalam pembentukan kebudayaan Islam di Jakarta Raya yang khas. Kita akan lihat realisasi pengaruh-pengaruh itu dalam komponen beberapa peninggalan Islam berupa masjid.

C.
Tujuan Penelitian

Dalam matakuliah Arkeologi Islam pada Jurusan Sejarah Peradaban Islam, IAIN Imam Bonjol Padang, mahasiswa mesti melakukan Penelitian Lapangan untuk dapat menyelesaikan matakuliah ini. Setidak-tidaknya program ini berguna untuk mendekatkan mahasiswa pada bentuk kerja arkeolog yang sebenarnya di lapangan. Selain itu, juga diharapkan dapat melahirkan tulisan-tulisan ilmiah yang berguna bagi pemetaan sejarah dan memperkaya kashanah keilmuwan khususnya bidang Arkeologi Islam.

D.
Metode Penelitian

Dalam studi arkeologi, dikenal ada tiga tingkat penelitian arkeologi: observasi, deskripsi, eksplanasi.[16] Pada tingkatan observasi, metode penelitian yang biasanya digunakan adalah metode survei (peninjauan) dan penjagaan.[17] Pada penelitan ini, bentuk observasi yang dilakukan adalah observasi survei yaitu peninjauan yang dilakukan terhadap peninggalan-peninggalan atau benda-benda bersejarah, dalam hal ini yang mendapat pengaruh Islam. Survei ini sendiri secara umum dilakukan hanya dengan meninjau atau melakukan survei terhadap benda-benda yang telah ditemukan dan terdapat di permukaan tanah. Secara khusus penelitian ini mengambil beberapa objek penelitian yang semuanya terdiri dari masjid.

No

Lokasi

Situs

1

Jakarta

Masdji Jami Annawier Pakojan



Masjid Wali A'lam Marunda

2

Banten

Masdji Agung Banten

3

Yogyakarta

Masjid Gede Yogyak

Dalam penelitian arkeologi dikenal juga survei perpustakaan. Survei yang dilakukan untuk mengumpulkan seluruh keterangan yang berhubungan dengan situs yang akan diteliti.[18] Selain itu, dikenal juga beberapa model survei lainnya seperti survei muka tanah, survei dalam tanah, survei udara.[19] Hanya saja, dalam penelitian ini, yang dilakukan hanyalah survei muka tanah dan survei kepustakaan, Suvei muka tanah sendiri yaitu survei dengan cara melakukan pencatatan-pencatatan yang dilakukan terhadap situs-situs yang ditemukan. Sementara survei dalam tanah dan survei udara tidak memungkinkan untuk dilakukan.

Pada tingkat berikutnya, dalam metode penelitian arkeologi dikenal deskripsi. Secara umum, deskripsi terdiri dari klasifikasi dan analisa.[20] Klasifikasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah klasifikasi primer, yaitu pengelompokkan dan pengidentifikasi benda-benda arkeologi tanpa merusaknya. Klasifikasi situs-situs arkeologi tersebut berdasarkan kepada: riwayat situs-situs, makna-makna yang terkandung dalam komponen-komponen situs, dan wujud akulturasi kebudayaan lain yang terdapat dalam struktur situs-situs tersebut.

Pada tahap analisis dilakukan menggunakan analisa konteks dan kondisional. Analisa konteks sendiri yaitu suatu analisa yang melihat hubungan-hubungan di antara benda-benda dengan unsur-unsur lain secara agak lebih luas.[21] Analisa jenis ini dilakukan untuk mendapatkan suatu gambaran yang memadai mengenai kondisional dan kontekstual benda-benda tersebut.

Beberapa Peninggalan Arkeologi Islam di Jakarta
  1. Masjid Jami’ Annawier Pakojan (Jakarta Barat)

Sekelompok orang Koja, yang berarti orang-orang dari Coromandel atau pantai India lainnya,[22] yang terdiri dari pedagang kaya muslim, mendirikan masjid ini di penghujung abad ke-18. Ketika itu Pakojan merupakan kawasan tempat bermukim komunitas Muslim Koja. Sungai yang melintasi perkampungan orang-orang Koja itu awalnya dijadikan sarana transportasi bagi pedagang-pedagang pribumi.[23]

Ordonansi penduduk kota diberlakukan VOC sejak 1620 masehi. Orang-orang yang boleh berdagang ke dalam kota hanyalah kelompok-kelompok tertentu. Penduduk kota dibagi ke dalam kelas-kelas, orang Eropa menduduki tingkatan kelas teratas. Orang-orang Koja termasuk ke dalam kelas swaerten (hitam).[24] Untuk kelompok-kelompok ini dan kelompok pribumi, atau frijman, atau preman, atau orang-orang bebas, disediakan pasar khusus di luar benteng (kota) untuk melakukan perdagangan.[25] Namun di tahun 1760 sampai tahun setelahnya, dapat dikatakan, VOC tak dapat lagi membatasi pendatang, pemukiman, dan pergaulan penduduknya Setiap tahun, pemukiman bertambah, lonjakan penduduk terus naik. Meskipun ordonansi masih tetap diberlakukan.

Seorang narasumber mengatakan, masjid yang berdiri di tepi sungai Pakojan itu awalnya dibangun di atas tanah seluas 400 meter persegi. Kawasan Pakojan belum sepadat sekarang. Perkampungan Pakojan masih didominasi oleh pohon kepala. Seluruh kerangka bangunan masjid berbahan kayu jati. Syech Usman bin Khairi, seorang Koja, dianggap yang mula-mula mendirikan masjid itu. Kemudian pedagang-pedagang Koja muslim lainnya turut serta.[26]

Hampir setiap sub-struktur atau komponen bangunan masjid mempunyai makna-makna keislaman tertentu. Tiang masjid yang berjumlah 33 mengisyaratkan jumlah yang sama dengan bilangan dzikir. Jendela-jendela masjid yang berjumlah 17 melambambangkan jumlah rakaat dalam shalat. Beberapa jendela merupakan sumbangan dari beberapa etnis, di antaranya etnis China muslim. Menara yang terletak di bagian belakang masjid, hal ini karena dibangun jauh lebih belakangan, awal pembangunanya, masjid ini tidak memiliki menara. Di tahun 1825, ketika Perang Jawa masih belum padam, atas gagasan oleh Syech Usman bin Abdul bin Yahya (mungkin seorang Arab), masjid direnovasi, menara dikerjakan. Pada 1839, atas waqaf tanah dari Husna (mungkin pribumi) dan Syech Usman sendiri, area masjid diperluas.[27]

Masjid memiliki 5 pintu di belakang, 5 di kanan, dan 6 di depan. Bilangan ini mencerminkan bilangan rukun iman dan rukun Islam.[28] Masjid itu mempunyai dua mimbar, yang usia masing-masingnya berbeda. Mimbar yang paling tua terbuat dari kayu jati, bertingkat-tingkat, dan memiliki dua buah tiang penyangga. Mimbar itu berbentuk seperti singgasana yang biasa dipakai raja-raja Jawa dalam film-film silat seperti Tutur Tinular dan Babat Tanah Jawi. Ini melambangkan bahwa orang yang berilmu akan ditinggikan derajatnya.

Pada tiang-tiang mimbar dikalungkan tasbih besar yang biji-biji-nya sebesar kepalan tinju anak-anak. Sebuah tongkat kayu tersandar pada dinding mimbar, jubah hijau (pakaian khatib saat berkhotbah) berhiar emas pada lehernya tergantung di bagian lain mimbar. Bagian lain itu, serangkai dengan mimbar, adalah bilik berukuran 2 x 2 meter dengan ketinggian yang sama, tempat khatib mengganti pakaiannya sebelum memulai khotbah. Diceritakan, setiap khatib harus memakai perangkat-perangkat di atas (tasbih besar, tongkat, baju gamis) ketika menyampaikan khotbahnya. Praktek seperti itu memang sering kita temukan dalam kelompok Islam golongan tua. Kaum muda tentu telah meninggalkannya.

Mihrab berasitektur Eropa. Dua tiang besar menunjukkan ciri-ciri yang sama dengan tiang-tiang romawi klasik. Namun, bagian atas mihrab yang bertingkat-tingkat, seperti punden-berundak, mungkin beraroma Shiwais, bercorak India.

Yang menarik dari struktur bangunan masjid tersebut adalah tempat untuk sembahyang bagi perempuan dibuat khusus, berupa sebuah bilik, terpisah dari tempat laki-laki, maskipun masih berada di dalam ruangan masjid yang sama. Tidak diketahui dengan pasti alasan pemisahan ini. Sebuah masjid lainnya di Bekasi, juga ditemukan pemisahan seperti itu. Dan pemisahan khusus seperti itu mungkin saja juga ditemukan pada masjid-masjid lain di Jawa. Apakah karena sifat feodalistik kebudayaan Jawa, yang menempatkan perempuan sebagai pingitan? Tentu asumsi yang kelewat berlebihan. Alasan sementara yang dapat dikatakan adalah, menurut keterangan seorang narasumber, “kaum perempuan ingin punya sebuah ruangan di mana mereka juga bisa melakukan pengajian sesama mereka.”[29]

Di tahun 1929, empat orang habib, diketuai oleh Habib Hasim bin Al-Idris, mem-prakarsai pemugaran masjid itu kembali hingga tidak pernah lagi dipugar sampai sekarang.

  1. Masjid Wali A’lam Marunda (Jakarta Utara)

Masjid Auliah penuh dengan kejutan. Dibangun dalam waktu 1 malam pada tahun 1640, oleh orang yang tidak jelas siapa,[30] mungkin malaikat, atau orang keramat yang bisa pulang-pergi Marunda-Makkah dalam kejap mata, masjid Wali A’lam berdiri eksotis. Masjid ini tidak berdinding, lebih mirip balairuang, atau medan nan bapaneh di Minangkabau. Struktur bangunannya berbahan kayu, atapnya berbahan genteng tidak bertingkat namun motifnya terlihat seperti pagoda, hanya lantainya yang sudah menggunakan porselen, tentu karena masjid ini sudah beberapa kali dipugar. Karena tidak tahu siapa yang membangun masjid ini, sehingganya kemudian masjid ini juga dinamakan masjid Al-A’lam. “Alamlah yang membikin masjid ini!” kata ketua pengurus masjid dengan logat Betawi yang kental.

Marunda memang kampung Betawi. Orang-orang Betawi yang merupakan penduduk asli Jakarta rata-rata bermukim di daerah ini. Kiri-kanan jalan memasuki Marunda, akan terlihat tambak-tambak ikan membentang luas diselang-selingi beberapa rumah penjaga tambak yang terbuat dari kayu. Di beberapa bagian tambak, ditumbuhi hutan-hutan bakau. Arah matahari tenggelam, terlihat puncak tiang-tiang kapal. Marunda memang berada di pinggir pantai. Kalau ombak kelewat besar dan pasang, tentu air laut akan memenuhi tambak-tambak ikan itu. Kira-kira berjalan 200 meter melewati jalan setapak beton yang membelah hamparan tambak, akan ditemukan perkampungan yang lebih padat. Di tengah perkampungan itulah masjid Wali A’lam berdiri.

Arah ke barat masjid, terdapat sebuah sumur. Sumur itu bergaris tengah kurang-lebih setengah meter. Di belakang sumur, terhampar pekuburan. Para peziarah banyak yang datang untuk berdoa di hadapan makam-makam orang alim di sana. Di antara orang alim yang dikuburkan di sana adalah KH. Jami’in. tidak didapat keterangan tentang siapa KH. Jami’in. Namun tampaknya ia seorang yang terkenal. Di samping berboa, peziarah juga mengambil air sumur itu dan membawanya pulang. “Airnya dapat dijadikan obat dan membantu mendapatkan jodoh,” kata pengurus masjid itu pula. Sontak, beberapa orang dari kami berhamburan ke arah sumur, mencuci muka, mungkin turut memohon keberkatan dari air yang mujarab itu. Tapi orangtua itu segera menggari-bawahi, “tetap harus dengan ijin Allah!”

Arsitektur kedua masjid ini (Annawier dan Wali A’lam) sama-sama mendapat pengaruh dari kebudayaan lain. Kebudayaan itu seperti China dan India, termasuk juga Arab dan Eropa. Namun kenyataan ini belum sepenuhnya membuktikan seberapa besar pengaruh etnis itu dalam membantu pengebaran Islam awal di daerah ini. Hanya dapat dikatakan, keterangan-keterangan ini sudah dapat membuktikan adanya pengaruh itu.

Untuk bagian berikutnya, kita juga akan melihat pengaruh tersebut pada peninggalan arkeologi Islam di Banten dan Yogyakarta.

A. Masjid Agung Banten

Sekitar seratus meter dari komplek masjid Agung Banten, beberapa orang laki-laki akan berhamburan ke arahmu. Setengah memaksa, mereka akan menawarkan kepadamu minyak wangi seharga limaribu per botol. Salah seorang di antara mereka akan menggenggam tanganmu, menyelipkan beberapa botol minyak wanyi itu ke dalamnya, lalu meminta bayarannya. “Tanda jiarah, tanda jiarah…,” kata mereka dengan logat Sunda yang terasa.

Di pintu masuk komplek masjid Banten, akan kau temukan pula 5-7 orang pengemis, tua, dan memakai tudung kepala yang sama. Semuanya perempuan. Semuanya menengadahkan tangan. Sebagaimana hampir semua tempat wisata di Negara berkembang. Setelah berada di dalam komplek, kau akan diikuti oleh anak-anak umur sekolah dasar yang meminta sedekah.

Di tengah masyarakat Jawa, seperti dicatat dalam sebuah edisi khusus majalah Tempo, kemungkinan untuk menjadi pengemis dan peminta-minta lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah lain di Indonesia. Bahkan di beberapa daerah terdapat kampung yang semua penghuninya berprofesi sebagai pengemis sehingga disebut kampung pengemis.

Di dalam masjid, juga akan kau temukan beberapa kotak amal. Kau tentu bisa membayangkan, masjid itu mempunyai dua pasang tangan yang ditengadahkan. Silahkan beramal sebanyak mungkin. Jika kau tidak punya uang recehan, di luar komplek, di beberapa tempat penukaran uang, kau bisa mendapatkannya, tentu saja menukarnya dengan uang kertasmu yang besar.

***

Masjid Agung Banten terletak di Desa Banten Lama, Kecamatan Kasemen, Kota Serang, Propinsi Banten, Indonesia. Masjid Agung Banten berada sekitar 10 km sebelah utara Kota Serang.

Arsitektur Masjid Agung Banten terlihat pada rancangan atap masjid yang beratap susun lima, yang mirip dengan pagoda Cina. Ini tentu saja menunjukkan pengaruh China, khususnya China bagian Funan, yang cukup kental di Banten.

Konon, masjid yang dibangun pada awal masuknya Islam ke Pulau Jawa ini desainnya dirancang dan dikerjakan oleh Raden Sepat. Ia adalah seorang ahli perancang bangunan dari Majapahit yang sudah berpengalaman menangani pembangunan masjid, seperti Demak dan Cirebon.

Bagian ruang utama masjid ditopang dengan 12 tiang. Masing-masing tiang berlandaskan balok beton dan ukiran batu berbentuk labu. “Labu menyimbolkan pertanian. Penduduk Banten kebanyakan adalah petani.”[31]

Pada tahun 1620 M, semasa kekuasaan Sultan Haji, datanglah Hendrik Lucaz Cardeel ke Banten, ia seorang perancang bangunan dari Belanda yang melarikan diri dari Batavia dan berniat masuk Islam. Kepada sultan ia menyatakan kesiapannya untuk turut serta membangun kelengkapan Masjid Agung Banten, yaitu menara masjid serta bangunan tiyamah yang berfungsi untuk tempat musyawarah dan kajian-kajian keagamaan. Karena jasanya tersebut, Cardeel kemudian mendapat gelar Pangeran Wiraguna.[32]

Menara masjid tersebut terletak di sebelah timur masjid. Menara ini terbuat dari batu bata dengan ketinggian kurang lebih 24 meter, dengan diameter bagian bawahnya kurang lebih 10 meter. Untuk mencapai ujung menara, pengunjung harus melewati 83 buah anak tangga dan melewati lorong yang hanya dapat dilewati oleh satu orang. Dari atas menara ini, terlihat pemandangan di sekitar masjid dan perairan lepas pantai. Pada zaman dahulu, selain digunakan sebagai tempat mengumandangkan adzan, bangunan ini tentu difungsikan sebagai menara pandang ke lepas pantai. Selain itu, menara ini juga digunakan oleh masyarakat Banten untuk menyimpan senjata pada masa pendudukan Belanda.

Selain menara, pada bagian depan masjid terdapat alat pengukur waktu shalat yang berbentuk lingkaran, dengan bagian atas berbentuk seperti kubah. Pada bagian atas kubahnya ditancapkan kawat berbentuk lidi. Melalui bayangan dari kawat itulah dapat diketahui kapan waktu shalat tiba.

Di serambi kiri masjid ini terdapat makam Sultan Maulana Hasanuddin dengan permaisurinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan Sultan Abu Nashr Abdul Kahhar (Sultan Haji). Sementara di serambi kanan, terdapat makam Sultan Maulana Muhammad, Sultan Zainul Abidin, Sultan Abdul Fattah, Pangeran Aria, Sultan Mukhyi, Sultan Abdul Mufakhir, Sultan Zainul Arifin, Sultan Zainul Asikin, Sultan Syarifuddin, Ratu Salamah, Ratu latifah, dan Ratu Masmudah.

Ketika kami menyunjungi masjid ini, serambi kanan penuh dengan para peziarah. Peziarah tidak hanya datang dari pulau Jawa saja agaknya. Ketika kami ke sana, kami bertemu dengan rombongan ibu-ibu (mungkin satu kelompok pengajian) yang datang dengan bis dari Lampung. Barangsiapa yang ingin segera dapat jodoh, di sini juga disediakan air barokah. Kita bisa mendapatkannya dengan terlebih dahulu bersedekah. ; )

B. Masjid Gede Kauman Yogyakarta

Masjid Annawier, Wali A’lam di Jakarta, dan masjid Agung di Banten, mempunyai komponen-komponen yang memiliki makna-makna keislaman tertentu. Jumlah tiang, jumah pintu, jumlah jendela, melambangkan jumlah bilangan yang bersandar pada bilangan-bilangan penting dalam Islam, misalnya bilangan zikir atau jumlah bilangan rakaat shalat wajib. Ini berarti, pembangunan masjid-masjid ini berlandaskan pada konsep-konsep keislaman, dalam artian, tidak asal bangun. Dengan ini, dapat dikatakan, masyarakat yang mendirikannya adalah masyarakat yang menganggap simbol-simbol keagamaan mempunyai nilai penting, yang mengejewantahkan pemikiran dan cara hidup mereka.

Hal lain yang perlu dicatat adalah, dalam struktur atau bangunan masjid-masjid tersebut di atas, juga terjewantah suatu keanekaragaman etnis pendukungnya. Masjid-masjid itu berdiri tidak atas “campur-tangan” satu etnis, tetapi berbagai etnis. Sebuah masjid mengandung beberapa corak etnis, misalnya masjid di Pakojan dipengaruhi corka arsitektur Hindia, China, dan Eropa. Ini menunjukkan betapa Islam ternyata bisa menyatukan perbedaan etnis tersebut. Inilah pula corak keberislaman di sepanjang sejarah Indonesia yang penting untuk dilanjutkan dan membuat corak Islam di negeri ini menjadi unik, lebih toleran, damai, dan sejuk.

Penelitian sejarah manapun hendaknya juga ditujukan untuk membaca bagaimana persinggungan berbagai etnik ini berlangsung di masalalu secara damai dan toleran dalam sebuah ruang keislaman. Bahwa dalam banyak sejarah kita, Islam tidak menjadikan perbedaan menjadi runcing. Dan bukan sesuatu yang mustahil pula jika corak seperti itu juga diciptakan hari ini.

KEPUSTAKAAN

Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara

Islam di Nusantara. LKiS, Jogjakarta: 2008, cetakan ke-6

Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Pustaka Populer Gramedia,

Jakarta: 2008

R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indinesia Jilid 3, Kanisius,

Yogyakarta: 2005, cet. ke-23

Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Buku Kompas, Jakarta: 2006, cet. ke-2

Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi, Citra

Pustaka, Yogyakarta: 2006

Tim Arkenas, Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I, Pusat Penelitian

Arkeologi Nasionl, Jakarta: 1983.

M. Ilham, Rusydi Ramli (ed) Pengantar Arkeologi, Hikmah Press, Jakarta: 2002


[1] “Loji, loge, atau lodje, berasal dari kata Portugis, fetoria. Kata itu berarti tempat tinggal, kantor atau gudang tempat bangsa tersebut melakukan kegiatan perdagangannya di kota-kota seberang laut. Fetoria bisa berupa benteng (kubu pertahanan), tetapi juga bisa berupa gedung biasa. … Ketika VOC berkuasa, loji merupakan bagian yang tak terpisahkan dari mesin kekuasaannya. Sebab di loji itulah hampir semua aktivitas perdagangan (juga pemerintahan) dijalankan.” (Lihat Gusti Asnan, Pemerintahan Sumatera Barat dari VOC hingga Reformasi, Citra Pustaka, Yogyakarta: 2006), hlm. 1

[2] Catatan yang terdapat pada pigura di dinding museum Fatahillah, Jakarta. Namun asumsi ini diragukan karena tidak biasanya daerah taklukan diberi nama oleh penakluknya menggunakan nama penguasa yang ditaklukan. Maka, asumsi Prof. Husein yang dikutip Prof. Dr. Slamet Mulyana dalam bukunya Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara mungkin lebih tepat. Prof. Husein mengatakan kalau nama Jayakarta merujuk pada frase fathan mubinan dalam ayat tertama surat Al-Fath: ‘Inna fatahna laka fathan mubinan’ (“Sesungguhnya Kami telah memberi kemenangan kepadamu kemenangan yang tegas”). Kemenangan yang Tegas itu kemenangan yang merujuk pada penaklukan Nabi terhadap kota Makkah. Karena Fatahillah adalah seorang muslim yang taat, satu di antara para wali yang sembilan, sehingga lebih mungkin untuk termotivasi pada peristiwa yang berbasis keislaman dalam menjatuhkan pilihan nama untuk Sunda Kelapa. Prof. Husein dalam Prof. Dr. Slamet Muljana, Runtuhnya Kerajaan Hindu Jawa dan Timbulnya Negara-negara Islam di Nusantara. LKiS, Jogjakarta: 2008, cetakan ke-6, hlm

[3] Luthfi Assyaukanie menolak untuk menerima asumsi beberapa sejarawan yang mengatakan kalau munculnya komunitas-komunitas legal-formal Islam menyebabkan keruntuhan Majapahit. Menurut Luthfi, kerajaan Majapahit sudah lebih dulu lemah dari dalam, perpecahan terjadi di antara para bangsawan istana; perebutan kekuasaan-lah yang menjadi faktor utama keruntuhan kekuasan terbesar Nusantara pra-modren tersebut. Asumsi ini mungkin benar, namun juga tidak dapat dinafikan, kemunculan kerajaan-kerajaan Islam tentu akan semakin mendorong kehancuran Majapahit. Tercatat beberapa serangan pasukan Demak ke sisa-sisa kekuatan Majapahit pernah terjadi, termasuk ke benteng terakhir Mahapahit di paling ujung timur pulau Jawa, di Blambangan, yang setelah penyerangan itu, banyak orang-orang Majapahit melarikan diri ke Bali. (Lihat Bernard H. M. Vlekke, Nusantara: Sejarah Indonesia, Pustaka Populer Gramedia, Jakarta: 2008) hlm. xi-xxiii

[4] Dr. R. Soekmono, Pengantar Sejarah Kebudayaan Indinesia Jilid 3, Kanisius, Yogyakarta: 2005, cet. ke-23, hlm. 57

[5] Ibid. hlm. 46

[6] Vlekke, op.cit, hlm 147

[7] Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Buku Kompas, Jakarta: 2006, cet. ke-2, hlm. 35

[8] Vlekke, op.cit. hlm. 147-148

[9] Parakitri T. simbolon, op.cit. hlm. 37

[10] Salah satu cara Coen untuk memenuhi ambisinya itu adalah dengan membuat koloni tetap, pemukiman tetap, bagi orang-orang Belanda di Batavia. Lihat Vlekke, op,cit. hlm. 146-153. Lihat juga Parakitri T. Simbolon, pada catatan kaki hlm 448-449.

[11] Pantai utara Jawa merupakan kelanjutan dari rute perdagangan Pesisir timur Sumatera. Setelah Malaka diduduki Portugis di tahun 1511, otomatis pedagang-pedagang dari negeri-negeri Muslim beralih haluan ke pesisir utara Jawa lewat jalur barat Sumatera. Lihat Vlekke, ibid. hlm. 135

[12] Raden Patah bernama Jin Bun, Sunan Bonang bernama Ang dengan marga Bon. Keterangan lebih jauh tentang ini lihat Prof. Dr. Slamet Muljana. op.cit. hlm 86--89

[13] Ibid. 90

[14] Tentang ordonansi penduduk Batavia lihat Parakitri T. Simbolon, op.cit. hlm. 43-49

[15] Hasil-hasil penelitian arkeologi Islam yang telah dihasilkan oleh peneliti-peneliti dari Arkenas, lihat misalnya dalam Rapat Evaluasi Hasil Penelitian Arkeologi I, Pusat Penelitian Arkeologi Nasionl, Jakarta: 1983.

[16] M. Ilham, Rusydi Ramli (ed) Pengantar Arkeologi, Hikmah Press, Jakarta: 2002, hlm. 41

[17] Ibid. hlm. 45

[18] Ibid. hlm. 46

[19] Ibid. hlm. 46

[20] Ibid. hlm. 48

[21] Ibid. hlm. 49

[22] Ibid, hlm. 42

[23] Wawancara dengan Imam masjid Pakojan, 7 Februari 2009

[24] Hitam bukan menunjuk pada orang-orang Negro Afrika, tetapi orang-orang dari pantai India. Lihat Parakitri T. Simbolon, op.cit. hlm 40

[25] Ibid. hlm. 40

[26] Wawancara dengan Imam masjid Pakojan, 7 Februari 2009

[27] Log.cit.

[28] Log,cit.

[29] Log.cit.

[30] Wawancara dengan Pengurus Masjid Wali A’am Marunda, 8 Ferbuari 2009.

[31] Wawancara dengan petugas masjid Banten, 8 Februari 2009

[32] Log.cit.




Selengkapnya...

SINOPSIS MATA KULIAH INTI

Sinopsis Mata Kuliah Jurusan SKI

(Kurikulum Berbasis Kompetensi)

1. Filsafat Ilmu (2 sks)

Berisikan kerangka umum tentang epistemologi ilmu pengetahu-an, hakekat ilmu pengetahuan, kawasan obyek pengetahuan, perkembangan dan pengelompokan ilmu serta dasar-dasar epistemologi ilmu-ilmu humaniora.

2. Filsafat Sejarah (2 sks)

Memberikan pengetahuan tentang perkembangan pemikiran se-jarah; pengertian filsafat sejarah, berbagai pandangan filosof sejarah masa-masa awal (filsafat sejarah spekulatif), filsafaf seja-rah dalam Islam serta gambaran tentang hubungannya dengan perkembangan pemikiran modern tentang sejarah.

3. Pengantar Ilmu Sejarah (2 sks)

Berisikan dasar-dasar epistemologi ilmu sejarah (pengertian, konsep, dan defenisi), perkembangan sejarah sebagai ilmu serta hubungannya dengan beberapa disiplin ilmu humaniora lainnya, ilmu-ilmu bantu sejarah, dan masalah kebenaran dalam ilmu se-jarah.

4. Metodologi Sejarah (2 sks)

Substansi mata kuliah ini diarahkan pada pemikiran kesejarahan modern (filsafat sejarah kritis), perspektif metodologis yang digunakan dalam lapangan sejarah, konvergensi teoritis dengan ilmu-ilmu humaniora lainnya, serta masalah penjelasan dan kebenaran sejarah.

5. Geografi Kesejarahan (2 sks)

Memberikan pengetahuan dasar tentang geografi dan hubung-annya dengan penganalisisan sejarah serta memperkenalkan determinisme/possibelisme lingkungan fisik terhadap perubahan sejarah dan transformasi budaya manusia.

6. Historiografi (2 sks)

Berisikan konsep-konsep historiografi dan kaitannya dengan as-pek keilmuan dalam sejarah, historiografi sebagai sub bidang ka-jian sejarah, perkembangan historiografi tradisional ke historio-grafi modern serta memberikan pengetahuan-pengetahuan teo-ritis dan praktis tentang pendekatan historiografis dalam pe-nulisan sejarah.

7. Metode Penelitian Sejarah (2 sks)

Memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam proses kerja sejarah ; acuan dasar dalam mengembangkan kepekaan terha-dap masalah kesejarahan dalam segala aspeknya, cara mene-mukan dan menganalisis sumber, pembentukan fakta, sintesis, serta teknik-teknik yang digunakan dalam penulisan sejarah.

8. Metode Sejarah Lisan (2 sks)

Mata kuliah ini secara khusus memberi pengetahuan tentang teknik-teknik mutaakhir dalam menggunakan sumber lisan dalam penelitian sejarah ; teknik pengumpulan sumber, penganalisisan dan interpretasi sumber, masalah kredibilitas sumber, serta masalah akurasi sumber sejarah lisan.

9. Retorika Sejarah (2 sks)

Memberikan pengetahuan dan keterampilan dalam mendeskrip-sikan sejarah ; pengembangan wacana, penalaran, proposisi, dan keterangan historis, ekstrapolasi sumber dan fakta, imajinasi his-toris serta penggunaan bahasa teknis yang berlaku dalam ilmu sejarah.

10. Seminar (2 sks)

Mata kuliah ini memberikan latihan/praktikum kesejarahan untuk pengembangan wawasan mahasiswa dalam membahas secara akademik masalah-masalah kesejarahan.

11. Pendekatan Sej. Sosial (2 sks)

Memberikan kemampuan dan wawasan bagi penganalisisan sejarah melalui perspektif sosiologis serta aplikasi teoritis dan teknis keilmuan sosial dalam praktek kesejarahan.

12. Pendekatan Sejarah Budaya (2 sks)

Memberikan kemampuan dan wawasan bagi penganalisisan sejarah melalui perspektif budaya serta aplikasi teoritis dan teknis keilmuan budaya dalam praktek kesejarahan.

13. Pendekatan Sejarah Politik (e) (2 sks)

Memberikan kemampuan dan wawasan bagi penganalisisan sejarah melalui perspektif politik serta aplikasi teoritis dan teknis keilmuan politik dalam praktek kesejarahan.

14. Pendekatan Sejarah Ekonomi (e) (2 sks)

Memberikan kemampuan dan wawasan bagi penganalisisan sejarah melalui perspektif ekonomis serta aplikasi teoritis dan teknis keilmuan ekonomi dalam praktek kesejarahan.

15. Pendekatan Sejarah Intelektual (e) (2 sks)

Memberikan kemampuan dan wawasan bagi penganalisisan sejarah melalui perspektif intelektual serta aplikasi teoritis dan teknis keilmuan psikologis dalam praktek kesejarahan.

15. Pendekatan Sejarah Lokal (e) (2 sks)

Memberikan kemampuan dan wawasan bagi penganalisisan sejarah melalui perspektif lokal serta aplikasi teoritis dan teknis keilmuan terkait dengan aspek lokalitas dalam praktek kese-jarahan.

16. Memberikan pengetahuan tentang perkembangan kebudayaan Sejarah Peradaban Islam I (2 sks)

Islam secara kronologis dari masa awal hingga ke perkembangan akhir.

18. Sejarah Peradaban Islam II (2 sks)

Mata Kuliah ini memberikan wawasan tematis aspek-aspek pemikiran keagamaan dalam Islam dan jaringannya serta penga-ruhnya terhadap transformasi budaya dalam perkembangan sejarah Islam dari masa awal hingga perkembangan akhir.

19. Sejarah Peradaban Islam III (2 sks)

Mata kuliah ini memberikan wawasan tematis aspek-aspek peradaban dan kesenian dalam Islam, pertumbuhan, proses enkulturasi, akulturasi, hubungan serta perkembangannya dalam wilayah budaya besar dunia.

20. Historiografi Islam (2 sks)

Berisikan pengetahuan tentang perkembangan penulisan sejarah dalam Islam, sejarawan-sejarawan muslim dan karya-karya mere-ka serta penulisan sejarah Islam oleh sejarawan-sejarawan non muslim

21. Teks Klasik (2 sks)

Memberikan pengenalan tentang tulisan-tulisan klasik Islam dan perkembangannya ; pengetahuan dasar tentang paleografi, per-tumbuhan tulisan dalam masyarakat peradaban tertua, tulisan Arab kuno dan perkembangannya, serta memberi kemampuan praktis dalam membaca tulisan Arab Melayu.

22. Studi Naskah Melayu-Islam (2 sks)

Memberikan pengetahuan tentang seluk beluk sumber naskah (manuskrip), kodikologi naskah Melayu-Islam dengan segala aspeknya, serta memberikan kemampuan untuk mengenali dan memanfaatkan sumber naskah tersebut untuk penyelidikan se-jarah.

23. Studi Hadits dan Kesejarahan (2 sks)

Mata Kuliah ini memberikan wawasan dan pengetahuan tentang Hadits dalam setiap aspeknya dan hubungannya dengan studi kesejarahan ; penelitian dan pengujian kesahihan hadits, asbabul wurud, dan kontribusinya terhadap metode sejarah dalam Islam.

24. Studi Al-Quran dan Kesejarahan (2 sks)

Mata Kuliah ini memberikan wawasan dan pengetahuan tentang Al-Quran dalam setiap aspeknya serta hubungannya dengan studi kesejarahan ; dasar filosofis serta konsepsi al-Quran tentang sejarah, asbabun nuzul, penafsiran serta kaitannya dengan perkembangan metodologi sejarah dalam Islam.




Selengkapnya...